Hampir 2 tahun gue nggak pernah nulis di blog ini. Rasanya lucu juga waktu baca-baca postingan-potingan terdahulu, apalagi postingan 2-3 tahun lalu yang isinya keluh kesah semua. Gue kayaknya udah lupa apa aja yang gue keluhin di postingan-postingan itu.

Anyway, banyak yang berubah selama 2 tahun ini. Pertama, status gue udah bukan mahasiswa lagi. Gue akhirnya lulus bulan Januari ini meskipun IPK gue kurang dari yang gue harapkan. Tadinya gue mau nambah satu semester lagi untuk nambahin IPK doang. Tapi akhirnya gue membatalkan niat itu karena: 1) gue udah bilang mau lulus semester ini ke bokap gue, 2) gue nggak tau bokap gue masih mau bayarin kuliah gue apa nggak kalau gue nambah satu semester, 3) dosen pembimbing gue udah ngedaftarin nama gue sebagai salah satu calon wisudawan. Jadilah gue akhirnya lulus semester ini.

Kedua, nyokap gue udah nggak ada. Udah setahun lebih rumah gue kehilangan satu penghuninya and it never get easier as the time goes by. The first three months were hell. Setelah enam bulan dan akhirnya setahun, gue akhirnya mulai bangkit lagi meskipun gue nggak pernah bisa jadi gue yang dulu lagi. Sebenernya banyak sih yang bisa ditulis tentang after effect ini tapi entah kenapa gue nggak bisa nulisnya. It just stuck there.

Ketiga, gue udah jarang olahraga dan nggak pernah naik gunung lagi. September 2016 lalu gue kecelakaan dan cedera di lutut kiri. Gue nggak pernah periksa lebih jauh mengenai kondisi lutut gue dan itu yang bikin lutut gue chaos. Lutut gue nyeri tiap kali dipake jogging, terutama jarak jauh, dan terakhir gue naik gunung lutut gue minta diganti sama lutut kuda saking ngilunya. Ini bukan gue banget sih, karena gue termasuk orang yang doyan olahraga. Tapi karena kondisi fisik gue yang kayak gitu dan lagi jenuh sama hidup akhirnya ada periode gue berhenti olahraga sama sekali. Tapi sekarang gue lagi nyoba untuk mulai jogging lagi mumpung belum ada kesibukan apa-apa.

2 tahun itu lama dan harusnya banyak yang bisa ditulis tapi gue nggak tau mau nulis apa lagi karena kalau dipikir-pikir lagi nggak banyak hal mengesankan yang terjadi selama 2 tahun ini. Yang jelas, selama 2 tahun ini gue berusaha berdamai sama diri sendiri. That was a long and exhausting process, bahkan di awal-awal entah berapa kali gue ngalamin mental breakdown dan sempat kepikiran buat nyusul nyokap gue aja. Untungnya sekarang gue udah jauh mendingan dan pelan-pelan gue mulai nyusun apa rencana gue abis lulus. Telat sih, tapi lebih baik telat daripada nggak sama sekali. Toh emang dari dulu gue nggak pernah punya cita-cita spesifik.

Tahun 2018 ini gue nggak punya resolusi aneh-aneh. Gue pengen merealisasikan apa yang gue inginkan meskipun pelan-pelan. Dan, oh iya, lebih banyak jalan-jalan! Blog ini kayaknya isinya keluh kesah melulu, jadi udah saatnya mulai diisi sama cerita-cerita perjalanan. 꽃길만 걷자!

Seorang teman pernah bilang bahwa gue adalah tipe orang yang mengambil keputusan berdasarkan perasaan. Gue nggak menampik hal ini karena hasil personality test gue pun mengatakan hal yang serupa. Satu kelebihan yang dimiliki orang-orang dengan personality ini adalah they value harmony. Gue akan berusaha sebisa mungkin untuk menghindari konflik dengan orang lain, makanya gue malas ikut debat-debat karena menurut gue debat itu kayak memaksakan pendapat tanpa mengconsider (apa) sudut pandang orang lain.

Tapi akhir-akhir ini gue merasa nggak nyaman dengan diri gue sendiri. Gue nggak bisa ngambil keputusan di rapat penting, atau akhirnya cuma bisa diam ketika yang lain sedang debat cukup panas. Gue takut, benar-benar takut sama orang sampai akhirnya beberapa hari ini gue mencoba menjauhkan diri dari orang-orang. Gue menemukan kenyamanan being alone untuk beberapa waktu jadi gue nggak harus menceritakan gue habis kemana atau ngapain, atau mendengarkan curhatan orang yang sebetulnya nggak ada pengaruh apa-apa juga ke gue.

"Ah itu mah lo aja yang baperan."
"Peduli sedikit lah."

Dan pada akhirnya gue ada di tahap gue mulai mengabaikan perasaan orang-orang dan mencoba peduli sama diri sendiri. Kalau mereka bisa, kenapa gue nggak?

Sebenarnya, saya ingin menceritakan sesuatu. Sesuatu yang nggak pernah terlintas di kepala saya tapi akhirnya jadi nyata dan saya sejujurnya butuh teman bercerita.

Tapi sepertinya ada satu dua kata yang terucap dari saya yang akhirnya menyinggung perasaan lalu berakhir dengan ucapan-ucapan bernada tinggi.

Mungkin sikap saya memang berbeda dibandingkan yang lain, tapi pernahkah terlintas kalau sikap saya itu merupakan hasil dari pikiran-pikiran dan omongan orang-orang sekitar? Yang akhirnya membuat saya selalu berpikir dua kali--bahkan lebih--untuk mengucap atau bertindak. Dan akhirnya, mungkin, sikap saya terlihat tidak wajar dibandingkan dengan yang lain.

Saya pun lelah dengan sikap saya, tetapi saya juga lelah jika kepercayaan yang saya berikan akhirnya dipandang berbeda dari yang saya bayangkan.

Mungkin sikap saya yang seperti ini dianggap menyusahkan, tapi saya hanya ingin kamu tahu kalau saya bukan tipe orang yang kamu bayangkan atau harapkan.